Langgeng Art Foundation (LAF) bersama Ace House Collective menghadirkan tiga pameran sekaligus dalam satu ruang.
Tiga pameran tersebut meliputi BWP Focus: S. Teddy D, Kiasmos dan Salon et Cetera 2025 yang berlangsung pada 20 Juni - 25 Juli 2025.
Perwakilan Ace House Collective, Gintani Swastika mengatakan, tahun ini dirinya mengundang 143 seniman dari berbagai kota di Indonesia dan sekitar 15 seniman dari luar negeri seperti Jepang, Thailand dan Korea.
"Pameran ini menampilkan sekitar 200 karya," terangnya di sela pembukaan pameran di LAF Yogyakarta, Jumat (20/6/2025) malam.
Tak hanya menampilkan keberagaman medium dan pendekatan artistik, namun pameran tersebut membuka ruang pertukaran ide, pengalaman dan intensitas tubuh dalam merespons dunia.
Menariknya, dalam pameran ini ada karya dari seniman S. Teddy D yang dirangkum dalam Broken White Project (BWP) Focus.
BWP Focus merupakan program yang menampilkan karya-karya seniman yang telah
memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan praktik dan wacana seni
kontemporer di Indonesia.
"Setelah tahun lalu kami menampilkan karya dari Anusapati. Pada
BWP Focus tahun ini, kami menampilkan karya-karya dari S. Teddy D," terang Gintani pada Retjo Buntung.
Dipamerkannya karya S. Teddy D sekaligus menjadi momentum pengingat 14 tahun lalu ketika seniman asal Padang, Sumatera Barat ini berpulang.
"Di saat ArtJog 2016 dirayakan dengan penuh selebrasi, kami mendapatkan berita duka kehilangan Mas Teddy, sosok yang besar dalam seni rupa kontemporer Indonesia," kenangnya.
Bertepatan dengan pameran Artjog 2025, Gintani merasa bahwa ini menjadi momentum yang tepat untuk mengingat kembali kiprah S. Teddy D dalam berkesenian.
Menurutnya, S. Teddy D adalah seniman yang memiliki latar belakang dalam eksplorasi medium, tidak hanya lukisan tapi juga eksplorasi instalasi dan grafis.
"Bagi kami ini jadi momentum yang penting karena 14 tahun lalu, LAF memamerkan karya Mas Teddy dalam format eksposisi, tunggal," ujarnya.
S. Teddy D dinilai sebagai sosok yang legendaris dan inspiratif, terutama bagi generasi 1990 hingga awal 2000.
Dua karya yang belum sempat dipamerkan pun turut dihadirkan di Langgeng Art Foundation kali ini, yaitu Kacangan dan Top of The Roof.
"Kami menampilkan kembali 13 karya, 2 karya belum sempat dipamerkan selama beliau hidup. Ini baru pertama kali dipamerkan," jelas Gintani.
Pada kesempatan yang sama, Tomi Firdaus dari Langgeng Art Foundation menambahkan, dalam pameran Kiasmos menampilkan 21 karya dari 12 seniman asal Bandung, Yogyakarta, Bali dan dikuratori oleh Agung Hujatnikajennong.
"Dalam bahasa Yunani, Kiasmos berarti persilangan yang merujuk pada ruang subtil tempat di mana tubuh dan dunia saling menyusup," imbuhnya.
Mengacu pada kutipan kalimat dari Maurice Merleau-Pointy, ketika yang melihat juga dilihat, yang 'menyentuh' turut 'disentuh'.
Menurut Tomi, dalam proses penciptaan, seniman berjumpa dengan dunia melalui material, medium, ruang, waktu, dan tubuh.
Karena itu, segala hal yang terencana maupun yang tak terduga pun dapat menjadi bagian dari percakapan dan persilangan antara diri dan dunia.
Tomi menilai, persilangan itu terjadi ketika adanya apresiasi dari penikmat karya. Sebab menatap lukisan bukan sekadar melihat, melainkan mengalami.
"Tubuh bereaksi, pikiran mengembara, hati tersentuh, batas antara penikmat dan karya perlahan mengabur," ujar Tomi.
Sementara, pameran Salon et Cetera merupakan program yang menawarkan platform
bagi para seniman dari berbagai latar
belakang untuk mempresentasikan karya dalam sebuah pameran
kolektif.
Mengadopsi tampilan
bergaya salon, pameran ini dirancang
untuk membangkitkan energi
keramaian. Dimana karya-karya seni dipajang saling berdampingan, saling
melengkapi, dan ditempatkan pada posisi yang setara.
"Pendekatan ini menolak presentasi
yang hierarkis, tapi justru merayakan dialog visual yang dinamis dan demokratis," kata Tomi.
Menurutnya, keterlibatan seniman dari berbagai
negara membuka ruang pertukaran lintas perspektif serta mempertemukan praktik-praktik artistik dalam lanskap global yang terus berubah.
"Perluasan ini tidak hanya menegaskan
komitmen Salon et Cetera untuk menjawab dinamika zaman, tetapi juga memperkuat
perannya sebagai medan dialog yang terus tumbuh melalui praktik penyelenggaraan," tandas Tomi.
(Retjo Buntung/Icha Dara)