Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta kembali menyelenggarakan Kompetisi Bahasa dan Sastra Kota Yogyakarta Tahun 2025. Kegiatan yang rutin digelar sejak 2019 ini resmi dibuka di Taman Budaya Embung Giwangan, Selasa (1/7/2025). Kompetisi ini menjadi salah satu upaya pelestarian budaya sekaligus ruang ekspresi masyarakat untuk merawat sastra Jawa.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti, melalui sambutan yang disampaikan Kabid Sejarah Permuseuman Bahasa dan Sastra Andrini Wiramawati, mengatakan bahwa bahasa, sastra, dan aksara merupakan tiga suluh utama peradaban yang harus terus dirawat keberadaannya. “Bahasa itu ibarat sungai yang mengalirkan pesan leluhur, sastra adalah angin yang membawa hikmah dari generasi ke generasi, dan aksara adalah jejak yang ditinggalkan masa lampau agar kita tidak lupa dari mana kita berasal,” ujarnya.
Ia menambahkan, di Yogyakarta, pelestarian ketiganya bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga strategi kebudayaan untuk menjaga jati diri di tengah arus global. “Di sini, tutur santun bukan basa-basi, tetapi cara hidup. Sastra bukan hanya hiburan, tetapi cermin budi pekerti. Dan aksara Jawa bukan sekadar ornamen, melainkan warisan estetika dan kebijaksanaan yang harus terus diwariskan,” katanya.
Antusiasme Peserta Stabil Sejak 2019
Kompetisi Bahasa dan Sastra ini telah berlangsung rutin selama enam tahun, sejak pertama kali digelar pada 2019. Antusiasme warga Kota Yogyakarta untuk berpartisipasi masih tinggi. Selain jumlah peserta yang stabil, kualitas penyelenggaraan juga terus membaik dengan sistem pelaksanaan yang lebih efisien dan ramah peserta.
Tahun ini, agenda final diikuti 186 peserta terseleksi dari berbagai kategori usia, yakni anak, remaja, dewasa, dan umum. Para peserta berkompetisi dalam 15 cabang lomba, di antaranya macapat, maca geguritan, maca cekak, alih aksara, sesorah, mendongeng, dan pranatacara. Final kompetisi berlangsung di Taman Budaya Embung Giwangan pada 1–3 Juli 2025, setelah sebelumnya dilakukan tahap penyisihan melalui video pada bulan Juni.
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyiapkan total hadiah senilai Rp 75 juta beserta trofi dan sertifikat bagi para pemenang di setiap kategori.
Adapun juri yang digandeng pada kompetisi ini diantaranya: Landung Simatupang, Suwardi Endraswara, Romo Prodjo Suwasana, serta sastrawan budayawan dan aktivis komunitas aksara di Kota Yogyakarta.
Ruang Apresiasi Sekaligus Regenerasi
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno, menyampaikan bahwa kompetisi ini menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan kecintaan terhadap sastra Jawa sekaligus sarana belajar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
“Kompetisi ini bukan hanya lomba, tapi ruang edukasi budaya yang terbuka. Kami ingin masyarakat tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengaktualisasikan sastra Jawa sebagai media ekspresi yang hidup di ruang-ruang publik,” kata Ismawati.
Ia menambahkan, kompetisi tersebut juga menjadi bagian dari upaya pelestarian berkelanjutan. Tiga pemenang terbaik dari masing-masing kategori akan menjadi kontingen Kota Yogyakarta di ajang serupa tingkat DIY pada September 2025, sekaligus berkesempatan mengikuti berbagai program kebudayaan kota.
“Kami berharap kegiatan ini terus menjadi wadah yang mempertemukan komunitas, akademisi, dan pelaku budaya. Dengan begitu, jejaring pelestarian sastra dan aksara di Yogyakarta bisa makin kuat dan nilai-nilai budaya tetap hidup di tengah masyarakat,” ujar Ismawati.
Salah satu juri lomba mendongeng, Landung Simatupang, menjelaskan bahwa tradisi mendongeng, khususnya dalam bahasa ibu, memegang peran penting dalam peradaban manusia dari masa ke masa. Tradisi ini berfungsi sebagai media pendidikan, penanaman nilai, dan refleksi budaya melalui komunikasi lisan. Daya persuasif dongeng terbilang tinggi, karena selain menghibur, cerita-cerita lisan ini mampu merangsang imajinasi, membebaskan cara berpikir, serta mengajak pendengar menyimpulkan sendiri pesan-pesan moral dan kebudipekertian yang kerap tersembunyi di balik alur kisahnya.