Film pendek 'Laila' yang disutradarai oleh Wucha Wulandari tayang perdana di Indonesia melalui Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024.
Film ini tayang dalam program Special Screening bersama dengan lima film dari Asia Tenggara lainnya.
Uniknya, selain festival, film ini mengambil jalan distribusi yang berbeda, yaitu dengan melakukan tour melalui program (Becoming Limitless with Opportunities and Meaning) BLOOM.
Program ini mengemas film pendek Laila sebagai media advokasi untuk meningkatkan kesadaran tentang pernikahan anak dan memperluas wawasan remaja mengenai peluang masa depan yang dapat mereka raih.
Produser film Laila, Siska Raharja menjelaskan, misinya yaitu untuk menginspirasi kaum muda agar membuat pilihan yang bijak dan berjuang melawan pernikahan dini.
"Kami ingin membuka mata mereka terhadap berbagai peluang yang tersedia, agar mereka dapat meraih kehidupan yang lebih baik," katanya.
Sementara Sutradara Film Pendek Laila, Wucha Wulandari menceritakan, bahwa film ini mengambil inspirasi dari kejadian nyata yang terjadi di pesisir calon Ibu Kota Negara.
Lebih lanjut, Wucha menjelaskan, Laila adalah sosok anak perempuan laut yang memiliki ketahanan, pengetahuan, kepemimpinan, kohesi sosial, dan kesiapsiagaan.
Berangkat dari sosok Laila, film pendek ini pun akhirnya jadi sarat akan makna, khususnya berkaitan dengan anak-anak perempuan di daerah.
"Saya ingin film ini bisa memberi gambaran mengenai potensi yang dimiliki oleh anak-anak perempuan di daerah yang sering terabaikan, yang harus berjuang untuk memilih masa depan mereka," tuturnya.
Hingga saat ini, pernikahan dini masih menjadi kenyataan pahit bagi jutaan gadis di Indonesia.
Menurut data, di Indonesia, sekitar 45% gadis menikah sebelum usia 18 tahun, dengan 2% menikah bahkan sebelum mereka berusia 15 tahun. Praktik ini tidak hanya merugikan secara pribadi, tetapi juga memperburuk kemiskinan, membatasi akses pendidikan, dan menghancurkan potensi sosial-ekonomi komunitas.
Aktivis Perempuan, Kalis Mardiasih mengungkap pentingnya film pendek Laila ini untuk membangun kesadaran di Indonesia, sebab akar permasalahan pernikahan usia anak, terutama di daerah rural, dinilai sangat kompleks.
"Ada banyak kerentanan berlapis pada diri anak-anak perempuan ini, seperti kemiskinan ekonomi, tradisi, serta keterbatasan akses pendidikan dan sumber daya. Mereka terjebak dalam situasi tanpa pilihan yang akhirnya membawa mereka pada resiko berbahaya, seperti kekerasan, penculikan, atau bahkan perdagangan anak," ungkap Kalis.
Selain itu, Aktivis Pendidikan dari Empower Indonesia, Khansa Khalisa berharap, BLOOM dapat menciptakan model perubahan berkelanjutan yang tidak hanya mengatasi masalah pernikahan dini, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan para gadis dan komunitas secara menyeluruh.
"Kami berkomitmen untuk terus memperluas jangkauan BLOOM dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, agar dapat menciptakan perubahan nyata yang mengarah pada masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak perempuan di Indonesia dan dunia," tegasnya.
Program BLOOM, kolaborasi antara Elora Films, Semaya Studio, dan Empower Indonesia diharapkan terus berkembang dan memperluas jangkauannya ke berbagai wilayah baru.
Melalui keterangan resminya, program ini tidak hanya fokus pada pemberdayaan perempuan, tetapi juga pendidikan dan reformasi hukum.
Selain diwujudkan dalam festival seni melalui pemutaran film Laila, kolaborasi ini juga dilaksanakan dalam berbagai kegiatan lintas disiplin, seperti workshop, konser musik dan konseling.
Sebagai informasi, BLOOM merupakan inisiatif non-profit internasional yang bertujuan untuk memberdayakan kaum muda agar dapat menghindari dan mengatasi pernikahan dini.
Tidak hanya JAFF 2024, film pendek 'Laila' pun diputar perdana di SeaShort Film Festival Malaysia pada Oktober 2024 lalu dan sukses menjadi pemantik kegiatan interaktif di Pondok Pesantren Annadloh, Selangor, serta memicu diskusi mendalam di kalangan akademisi di Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
(Retjo Buntung/Icha Dara)